Header Ads

Pustaka Kembaren, Manuskrip yang Menjelaskan Hubungan Pagaruyung Minangkabau dengan Karo, Toba, Alas dan Daerah Batak Lainnya

Pustaka Alim Kembaren atau Pustaka Kembaren merupakan sebuah manuskrip kuno yang ditulis dalam bilang kayu dengan aksara Karo dan dituliskan kembali oleh Pendeta Belanda J.H. Neumann yang menerjemahkan Bibel ke Bahasa Karo.

Berikut isinya:

Dahulu ada orang-orang Pagaruyung, dua orang laki-laki kakak beradik yang berlainan ibunya. Yang sulung tinggal di Pagaruyung, sedangkan yang bungsu merantau mengelilingi Sumatera untuk mencari tempat tinggal, berhubungan ia masih merupakan manusia satu-satunya di Sumatera. Kemanapun ia pergi ia selalu membawa surat Kerajaan dengan sembilan materai dan pisau bala bari, pisau kerajaan yang diterimanya dahulu dari abangnya.

Terus menerus ia mencari tempat tinggal, akan tetapi belum ada tempat yang diketemukan yang cocok baginya. Apabila tempat itu kecil, maka tempat itu terlampau kecil untuk dia. Apabila tempat itu besar, maka baginya tempat itu terlampau besar.

Demikianlah ia sampai di Bangko, dan tinggal bertempat sebagai perantau. Disana ia bertemu dengan dua orang dan mengusahakan sawah di Bangko (Hal ini tidak terang karena tidak diberitahukan bahwa ia berpergian bersama empat orang). Sesudah ada segala macam tanaman cukup ditanam, maka bawahan yang lima orang itu bertanya: "Raja bagaimanakah nasib kami? Kampung kita sudah bagus teratur, tetapi belum ada perempuan" Dan Raja berkata dalam hatinya: "Memang benar". Maka ia siapkan kapalnya dan berlayarlah ia ke Makkah. Disitu ada banyak perempuan dan dibelinya sebelas orang. Mereka dibawa ke Bangko dan diberi kepada masing-masing seorang perempuan, sedang sisanya enam orang adalah untuk dia sendiri.

Sesudah dua tahun maka lahirlah dari masing-masing perempuan seorang anak laki-laki. Setelah tiga tahun maka para hamba bertanya kepada Raja Bangko: "Raja, apabila Raja nanti tidak ada disini lagi sedang anak raja banyak, siapakah menjadi Raja kita?" Maka Raja Bangko berpikir: "Memang benar"; karena ibu mereka masing-masing adalah bekas budak belian. Sedang ibu Raja sendiri adalah turunan raja, dan ke-enam perempuan itu bukan.

Maka Raja Bangko menyiapkan kapalnya dan berlayarlah Raja Bangko ke Negara Raja Kuala Ayer Batu. Oleh karena raja tersebut adalah raja besar, maka ia disana menikah dengan seorang putri raja. Setahun kemudian raja kembali ke Bangko dengan membawa seorang putra dengan diantar oleh ayah mertuanya, (Saya tidak tahu mengapa hal ini dianggap sangat penting dan disebut sekali lagi dalam nanyian yang dimuat dibelakang).

Setelah Raja selama setahun ada di Bangko, maka para hambanya menanyakan: "Raja, apabila Raja pada suatu waktu pergi dari sini, siapakah menjadi raja kita?". Maka raja mengumpulkan pembicara-pembicara itu dan semua putranya. (Siapakah yang dimaksud dengan "Pembicara" tidak jelas, mungkin adalah gelar, barangkali anak-beru-senina pada suku Karo). Maka berceritalah ayahnya sebagai berikut: "Kamu sekalian yang terbesar, kamu sekalian adalah raja. Akan tetapi tanda kerajaan, yaitu (surat) dengan sembilan materai dan pisau bala bari, akan ada pada adikmu yang terkecil, Karena ia dari pihak ibunya adalah seorang keturunan raja. Kamu tidak boleh melawan dia, kata ayahnya selanjutnya (Adalah sukar mengatakan apa artinya bala biri. Bala mungkin merupakan awalan lama bahasa Karo, seperti dalam kata-kata balagai, balagege, dsb. Selanjutnya juga "Perajurit, balatentara".. Bari berarti "Dingin, dingin sampai menggigil". Akan tetapi ini adalah "dingin" lain dari dinyatakan dengan malam yang berarti pula "dingin" dan juga "sehat". Tidaklah mustahil, bahwa kata bari dalam logat yang asing bagi saya mempunyai arti yang sama seperti kata malem dan dengan demikian mungkin kata bala biri adalah nama yang bagus untuk pisau, sehingga membawa untung). Pembicara-pembicara itu dijadikan saksi dari pada kata-katanya. "Ayah, apabila baginda berbicara demikian, siapakah yang akan menentang kata-kata ayahanda".

Setahun kemudian maka meninggallah ayahnya. Pembicara-pembicara mengatur pesta makannya dari warisan ayahnya dan mengangkat sebagai raja, putra yang telah diangkat oleh raja yang meninggal, oleh karena ia memiliki tanda-tanda kerajaan dan karena beliau dari pihak ibunya seorang keturunan Raja Kuala Ayer Batu. Ke-enam anak raja menentang. Setahun kemudian ia diangkat lagi sebagai raja, maka menentanglah lagi ke-enam anak raja. Empat kali ia diangkat sebagai raja, tetap ke-enam anak raja menentang terus.

Akhirnya datanglah Keramat dari hutan, tinggi dan gemuk, membawa tongkatnya yang menanamkannya didalam tanah dipekarangan dusun. Ia pergi kerumah dan menanyakan dimana rajanya. Akan tetapi tidak ada raja. Keramat menanyakan apa sebabnya dan kemudian berkata: "Yang mempunyai hak menjadi raja adalah dia yang keturunan raja dari ibunya: Yang ke-enam itu menentang. Maka kerama berkata: "Biarlah air bah itu datang". (Saya terjemahkan selalu "yang enam itu", mungkin akan ternyata kemudian, bahwa yang enam itu mempunyai arti tertentu).


Keramat berangkat, menarik tongkatnya dari tanah dan pergi. Dari lobang bekas tongkat itu keluar air, maka bah itu sungguh datang. Anak laki-laki keturunan raja dari pihak ibunya menyiapkan perahunya, mengirimkannya kekampung menaruh harta bendanya beserta tanda-tanda kerajaan didalam perahu itu dan berlayarlah ia ke tanah Alas dan sampailah ia di Alas.

Disana ia membuka sawah dan berdirilah disitu kampung Ketangkuhen. Ia adalah menusia pertama yang berlayar disungai Alas (?). Kemudian ia kawin dan mendapat dua orang anak. Anak-anak itu akhirnya menjadi besar. Ayahnya meninggal, Raja Bangko yang dari pihak ibunya adalah keturunan Raja Kuala Ayer Batu.

Anak yang sulung tinggal di Alas dan menjadi raja di Ketangkuhen. Ada orang yang dibawa oleh seekor burung layang-layang jatuh di Alas, Raja Ketangkuhen berjumpa dengan dia dibawanya kerumah. Kelakuannya baik dan Raja mengangkatnya sebagai saudara.

Raja Ketangkuhen menikah dan mendapat dua anak laki-laki. Mereka bergilir menjadi raja. (Siapa? Dua anak itu ataukah raja dan orang burung layang-layang?). Pisau kerajaan ada pada Orang Burung Layang-layang. Setelah ayahnya meninggal, maka anak-anak raja minta pisau kerajaan ayahnya. Orang Burung Layang-layang tidak mau memberikannya. Oleh karena ia memiliki pisau kepunyaan raja Bangko, maka ia menjadi pengulu (Orang burung layang-layang tidak mendapat gelar "Raja", tetapi "Pengulu". Raja adalah gelar yang pasti datang dari luar).

Anak-anak raja sangat menderita karenanya. Anak yang sulung berkata: "Tinggalalh disini dan mintalah pisau kita dari pengulu. Saya pergi ke Toba untuk mengunjungi saudara-saudara kita "yang enam itu". Demikian katanya kepada adiknya.

Ia pergi ke Toba mengunjungi saudara-saudaranya "yang enam itu". Dia berjumpa dengan mereka. Mereka telah menjadi raja dari Toba Selaki. Sebab-sebabanya diberi nama Toba Selaki ialah karena alasan sbb: Berhubung dengan adanya kain Toba maka mereka tidak mati (yaitu dalam air bah. Yang punya pustaka menerangkannya sebagai berikut: Ketika terapung diatas air, maka kain Toba tersebut menjadi cembung dan dengan demikian mereka mengambang dengan aman ketempat yang kering). Ia mempunyai anak laki-laki dan untuk dia didirkanlah kampung Paropo (Kedua kampung terletak pada tepi Barat dari Danau Toba). Setelah anaknya besar ia pergi ke Pakpak untuk mengunjungi saudara-saudaranya yang enam itu. Ia bertemu dengan mereka yang telah menjadi raja-raja Pakpak. Nama Pakpak berasal dari "Kepingan-kepingan batang pohonnya". (Celampong tentunya berarti batang sebuah pohon atau sepotong kayu yang dapat dipakai untuk pegangan agar dapat tetap mengapung. Jadi saudara itu juga dapat tertolong dari air bah, karena mereka berpegangan pada sepotong kayu seperti yang lain dengan kain mereka).

Kampung mereka adalah Martogan. Anak-anak dari "yang enam itu" kawin dan mendirikan kampung Martogan. Dari "yang enam itu" masih hidup empat orang dan dia bertemu dengan mereka. ia kawin lagi. Telah dua kali ia kawin tetapi tidak mendapat anak laki-laki.

Dari anak-anak Raja Ketangkuhen masih tinggal empat orang. Yang sulung dan yang bungsu masih hidup. Akhirnya ayahnya meninggal. Setelah anak-anaknya menjadi besar, maka yang bungsu tidak mampu untuk mengurus dirinya sendiri. Ia pergi ke dataran rendah (Jahe-jahe dimana letak tanah ini dapat dicari di Alas akan diberitahukan nanti. Disini tentu hanya dimaksudkan bahwa ia pergi ke hilir sungai). Setelah ia berada disitu, ia mendirikan sebuah kampung dekat sungai Biang (Wampu), sebelah kiri bawah, dengan sungai itu sebagai tempat pemandian, ia mendirikan sebuah pengulu balang, aji manering (raja yang menengok kebelakang), tempat pemujaan kita. (Lau mbelin saya terjemahkan dengan "sungai", tetapi disitu ada juga sungai yang namanya (Lau Mbelin). Pengulu balang adalah sebuah patung dari batu yang menjaga kampung itu. Apabila akan datang suatu bahaya, maka berbunyilah patung itu. Dekat kampung Gunung Meriah-jangan keliru dengan Gunung Meriah yang terletak di Serdang-masih ada beberapa patung yang kecil-kecil, sedang tempat persembahan kampung itu namanya Silan Manering). Kampungnya dinamakan Pertibi untuk menyatakan bahwa ia adalah raja. (Sekarang kampung itu sangat sepi). Ia adalah orang pertama yang memasuki daerah sungai Biang. Ia kawin dengan seorang gadis dari suku Ginting. Dua tahun kemudian ia kawin dengan seorang gadis dari suku Jambur Beringin, seorang putri raja Kuta Buluh.

Setahun kemudian penjajah perang yang mencekik. Ia mengambil ke-empat saudaranya dari Martogan dan berkata kepada kakak-kakanya: "O, kakak-kakak jika anda tidak malu, bahwa kampung Pertibi harus ditinggalkan karena musuh". "Jika kamu mengatakan demikian, marilah kita pergi", kata kakak-kakaknya itu, pengulu-pengulu Martogan. Maka tiga dari ke-empat saudara mengikuti dia dan sampailah mereka di Raja Pertibi, kampung dari adiknya yang bungsu. "O, kakak-kakak, apakah yang harus kita buat?" kata adiknya. "Bujang-bujang si pitu (nama suatu jampian). Perintahkan untuk mengambil bengkuang, kumpulkan duri-durinya. Setelah itu masaklah duri-durinya didalam belanga (bilanga kawa, sebuah wajan besi yang ceper), tuangkan racun si bolar untuk membasahi duri-duri itu dengan racun. Perumangannya membuat suatu jampian, agar orang menjadi tidak kelihatan (pengelimun). Perminak sagi menaburkan duri-duri itu sekeliling pertahanan musuh. (Belakangan ternyata bahwa seorang dari saudara-saudara itu ternyata adalah seorang umang dan yang lain adalah serigala penjelmaan manusia. Nama Perminak sagi sungguh menarik perhatian, biasanya orang berbicara tentang harimau sagi). Pada waktu hari mulai terang permusuhan dimulai lagi. Musuh datang dari tempat yang telah diperkuat; sekian banyak yang keluar, sekian banyak pula yang kena; sekian banyak pula yang mati. Sungguhpun musuh sudah kalah, namun perang belum selesai. Selama pengulu-pengulu Martogan masih ada, musuh tidak berani menerjang Pertibi. Musuh tidak berani karena seorang pengulu adalah umang, seorang lagi Perminak sagi dan seorang lagi ahli menembak dengan sumpitan. Pengulu Pertibi tidak berani menyuruh pergi abang-abangnya, pengulu-pengulu dari Martogan.

Setelah dua tahun perang belum berhenti. Pengulu Pertibi mencarikan istri untuk pengulu-pengulu Martogan untuk mengikat mereka. Ia bertanya kepada yang sulung, tetapi ia tidak menghendaki seorang istri manusia, karena ia umang. Ia bertanya kepada perminyak Sagi, tetapi ia berkeberatan. Pengulu Pertibi mengawinkan dia (si ahli menembak dengan sumpit), karena takut bahwa abangnya meninggalkan dia.

Karena ia adalah Perminak sagi, maka ia pergi kesawah, berhubung padi yang sudah tinggi dan dirusak oleh babi hutan. Mejelang malam ia berkata kepada istrinya: "Saya pergi ke sawah untuk mengusir babi hutan, besok pagi kira-kira jam 12 siang saya kembali". (Cerita disini terlampau singkat. Disini dimaksudkan si ahli penembak dengan sumpitan karena istrinya ahirnya dimakan oleh si serigala penjelmaan manusia itu). Ia pergi kesawah dan berubah menjadi macan. (Esok harinya) kira-kira jam satu siang istrinya pergi kesawah untuk mengantarkan makanan. Sampai disawah ia melihat kedalam gubuk, tetapi suaminya tidak disutu. Ia berjalan dipinggir sawah dan bertemu dengan seekor macan. Macan itu menelan dia sampai kenyang. Kemudian ia pergi kekampung dan berubah menjadi manusia lagi. Ia mencari istrinya. Orang-orang berkata: "ia pergi kesawah". Ia mencari kesawah, menyusulnya kepinggir sawah, Istirnya sudah mati.

Ia pergi kekampung. "O, adikku, adalah nasib bahwa saudara-saudara harus berpisah. Saya berkata demikian karena: kakakmu perempuan sudah mati, sayalah yang membunuhnya. Tidak ada gunanya saya tinggal di kampung, karena orang-orang tidak akan percaya pada saya, sungguhpun saya sudah berubah menjadi manusia. Saya (biasanya sebenarnya) tidak jahat terhadap orang-orang. Kalau loreng-loreng harimau itu merapat, maka namanya arimo kembaren, itu binatang pantangan". Demikianlah ia berkata kepada adiknya si Jagat, si ahli menembak dengan sumpitan. Maka adiknya menjawab: "Demikianlah kakak kita berkata: saya juga pergi ke pegunungan, itu adalah nasib". Maka umang berkata: "Kita berempat adalah anak dari satu ibu, satu anak tinggal di Martogan, satu lagi di Pertibi, satu lagi jadi macan, dan satu lagi jadi umang. Memang kita yang dulu meminta (yaitu nasib kita kepada dewa-dewa), sekarang kita harus menerima nasib kita. O, adikku, kamu berdua tinggal di Pertibi, jangan berpisah." Maka habislah pembicaraan.

Umang dan serigala pergi ke hutan, sedang yang dua tinggal di Pertibi. (Banyak suku diantara orang-orang Karo mempunyai binatang pantangannya, mungkin itu tetomnya yang dianggapnya suci. Terutama macan memang bintang pantangan. Disitu ada arimo Tarigan atau arimo Sibero, yaitu macan yang sebagian saja bertutul (rintik-rintik) dan galak. Sebaliknya arimo kembaren yang lorengnya harus berjumpa pada satu titik adalah tidak galak dan tidak ditakuti).

Beru Jambur Beringin, istri pengulu Pertibi tidak mempunyai anak dan tiap-tiap kali mengadukan suaminya (tentu karena ia ditelantarkan). Pengulu Pertibi juga takut, kalau-kalau si jagat pergi, maka ia berkata kepada adiknya Jagat: "Biarlah begini saja o, kakak, anda harus mengambil istri saya, saya tidak sangup memeliharanya. Kalau saja kembalikan dia kepada keluarganya, tentulah timbul hal-hal yang tidak menyenangkan, maka kamu harus mengambilnya. Saya mengetahui hutang saya kepada mertua saya". Dan kepada mertuanya dia ia berkata: "Jambur Beringin akan diambil oleh si Jagat. Kami adalah betul-betul kakak beradik" demikianlah Pengulu Pertibi berkata kepada Jagat.

Pengulu Pertibi memperoleh kedudukan (pangkat) raja itu, karena ia telah mendirikan Pertibi. Kalau ada kerbau lewat dari tanah Alas, maka Pengulu Pertibi menerima bea keluar, karena ialah yang paling tua. "Supaya mereka kemudian tidak bertengkar", kata pengulu Pertibi. Atau apabila kemudian banyak kampung-kampungnya, agar mereka kemudian tidak akan bertengkar". (Jalan ke Langkat menuju Bahorok adalah melalui Pertibi).

Beru Jambur Beringin, istri pengulu Pertibi telah diberikan kepada si Jagat sebagai istrinya, karena ada perang besar, agar ia tidak akan pergi. Demikianlah pengulu Pertibi berpikir. Kita adalah bersaudara hingga pertibi (??). Setelah empat tahun musuh hendak menaklukkan Kuta Buluh. Karena Kuta Buluh memelihara perhubungan dengan Pertibi, maka datanglah perang. Ia hendak mengalahkan Kuta Buluh. "Tidak ada gunanya saya tinggal disini" berkatalah pengulu Kuta Buluh dengan perasaan malu. Ia berkunjung pada iparnya si Jagat di Pertibi.

Ia bertemu dengan iperanya: "O, ipar", kata si Pengulu Kuta Buluh kepada iparnya si Jagat, "jika anda tidak berbaik hati, maka Kuta Buluh akan hilang". "Jika anda berkata demikian, o ipar, maka biarlah kita pergi", kata iparnya si Jagat. Kemudian si Jagat bersama istrinya Beru Jambur Beringin pergi ke Kuta Buluh bertanya: "Apa yang harus kita berbuat?" Aturkan bujang-bujang si pitu. "Suruh memetik bengkuang (semacam pandan yang dipakai untuk anyaman) kumpulkan duri-durinya, masaklah dalam wajan masukkan racun si bolar untuk meracuni duri-duri itu. Setelah itu taburkanlah sekeliling kampung". Maka duri-durinya ditaburkan sekeliling kampung dan permusuhan dimulai lagi. Sekian banyak musuh yang keluar, sekian banyak yang kena, sekian banyak yang mati. Musuh kalah, tetapi perang belum selesai.

Iparnya si Jagat tidak boleh pulang. Dua tahun kemudian iparnya mendirikan kampung Nggalam untuk dia. Lahirlah seorang anaknya laki-laki. Ia mengundang iparnya, yaitu raja Kuta Buluh untuk datang di Nggalam. Iparnya datang dan menginap dua malam disitu. Raja Kuta Buluh berkata kepada iparnya si Jagat: "Marilah kita tentukan batas-batas negeri kita, agar supaya anak-anak kita dibelakang hari tidak bertengkar karena itu". Maka jawab si Jagat kepada raja Kuta Buluh: "Karena kau menginginkannya, marilah kita tentukan". (Raja Kuta Buluh berketurunan dari Suka Tendel. Disini perlu diberi catatan bahwa hal ini tidak cocok dengan terdahulu. Mula-mula diberitahukan bahwa puteri raja Kuta Buluh adalah Beru Jambur Beringin. Dengan demikian dapat secara wajar diambil kesimpulan bahwa marga ayahnya juga harus Jambur Beringin. Sekarang dikatakan disini, bahwa marga mereka adalah Suka Tendel. Ini juga marga dari Sibayak pada waktu sekarang. Orang mengatakan kepada saya bahwa marga Jambur Beringin telah hilang. Suka Tendel adalah sebuah kampung yang masih didekat Gunung Sinabun).

"Datanglah besok" kata raja Kuta Buluh. Ipar si Jagat datang dan menunggu ditempat yang telah dibuat sebagai tempat pertapaanya. Disitulah ia bertemu raja Kuta Buluh.

"Marilah kita tentukan batas-batas kita" kata raja Kuta Buluh pada si Jagat. Dengan sumpitan si Jagat menunjukkan batas-batanya mulai tempat yang suci itu ke Nggalam terus lurus sampai Lau Buridi ke hilir sampai hilir sungai Biang, akhirnya sampai Damak. "Itulah negeri saya", kata si Jagat kepada raja Kuta Buluh. Ia mengayunkan sumpitannya sebelah kiri kehilir sampai ke lau di Tangkuhen. Kemudian ia letakkan sumpitan itu.

Kemudian iparnya dari Kuta Buluh menunjukkanya mengikuti arah iparnya dan menunjuk kearah sungai Biang ke hilir sampai kelaut. "Sebelah kanan hilir sungai adalah tanah saya sekian jauhnya kearah daratan dimana bunyi senapan saja terdengar, o, ipar", kata raja Kuta Buluh kepada iparnya si Jagat. Ia menembak dan setelah itu raja Kuta Buluh pulang, si Jagat juga pulang ke negeri Nggalam.

Sesudah satu bulan si Jagat mengirim pesan kepada raja Kuta Buluh: "Berilah nama kepada kemenakanmu!" Dan pamannya memberi nama "Si Bulang Kerajaan" (Kerajaan yang luas). "Mengapa saja memberinya nama "Kerajaan yang luas" adalah karena raja Bangko keturunan raja Pagaruyung. Karena ipar adalah raja dari Alas, Mabar, Tumba (Tamba), raja dari Pakpak, Pertibi sampai kelaut anda adalah raja." Si Jagat adalah ayah dari Belang Kerajaan. "Kalau kerajaan saya begitu luasnya, maka saya berhak menerima bea keluar dari muara sungai itu, jika muara sungai itu milik saya." "Yang demikian itu adalah hak", kata raja Kuta Buluh. "Boleh diadakan eksport jika si Jagat mendiaminya." "Demikian hak itu", kata raja kuta buluh. "Jika ada eksport, dari apa harus ada penerimaan?" Kuda, kerbau, budak belian, yang melewati daerah kita. "de adi, kurajat gularna (?)", kata pengulu Kuta Buluh. Tempat membayar cukai adalah Pertibi, karena daerah ini kepunyaan anak yang sulung. Dari semua kuda, kerbau dan budak belian yang lewat ayah si Belang Kerajaan menerima (hak bea keluar). (Tidak dapat dikatakan bahwa bagian yang dikutip ini tegas. Apakah kuala dimaksudkan muara suangi kedalam laut? Ataukah muara dari suatu sungai kedalam sungai lain? Berhubung dengan adanya cerita-cerita yang disampaikan dengan lisan bahwa Marga Perangin-angin telah meluaskan kekuasaanya sampai Binjai, maka saya teringat kepada penentuan batas-batas "sampai ke laut". Tetapi kemudian disebut Pertibi sebagai tempat pembayaran bea keluar).

Ia (Siapa? Si Jagat atau si Belang Kerajaan) mendapat enam orang anak. Seorang pergi ke Sungkun Berita, seorang ke Lau Mbentar, seorang ke Sampe Raya, sedang ketiga lainnya pergi juga; seorang ke Ujung Deleng, seorang ke Batu (Batu?) Mamak, seorang ke Kuruas, tempat yang tinggi letaknya di Lau Ntebah. Ia membuat sawah mendirikan sebuah gubug (sapo) dengan atapnya dari rumput (padang) yang akhirnya menjadi kampung, dengan diberi nama Sapo Padang.

Selama satu generasi lahirlah tiga anak laki-laki. Yang bungsu pergi ke Kelange, yang kedua ke Kuta Cih sedang yang sulung tinggal di Sapo Padang. Dalam waktu satu atau dua generasi lahirlah enam orang anak. Seorang pergi kegunung Silukutan, seorang ke Tuladeh, seorang ke Batu Katak, sedang tiga orang tinggal di Sapo Padang. Yang sulung, yang tengah dan yang bungsu. Yang sulung mempunyai seorang anak laki-laki, sedangkan yang bungsu dua anak laki-laki.

Anak yang sulung meninggal, tetapi ia tidak meninggalkan anak. Dari yang dua yang tertua meninggalkan anak laki-laki dua orang. Yang tua meninggal, dan sekarang tinggallah yang bungsu. Ia kawin dengan istri abangnya yang sulung tidak mempunyai anak.

Kemudian lahirlah seorang anak laki-laki. Ia kawin dengan istri abangnya dan mendapat seorang anak laki-laki lagi, yaitu anak dari istrinya sendiri.



PUSTAKA ALIM KEMBAREN

Tanggal 25 Sep 2014 oleh Amst3n .

Silsilah Merga Sembiring Pagaruyung

Silsilah Sembiring Pagaruyung : Kembaren, Sinulaki (Silalahi), Keloko (Haloho), Sipayung (Sinupayung)

 

Dikutip dari buku Karo dari Zaman ke Zaman, PUSTAKA ALIM KEMBAREN (Terjemahan LIPI) Diedit seperlunya sesuai kebutuhan redaksi tanpa mengurangi makna aslinya dalam bahasa Karo.

 

PUSTAKA ALIM KEMBAREN (red)

 

(sejarah kedatangan merga Kembaren ke Karo-Haru)

 

(I)

-seh i Karo-Haru-

Lit me ndube anak Pagaruyung dua sembuyak, duna nande; sintua tading Pagaruyung, singuda laws ngkelewati Pulo Perca enda, renen inganna, iban ia denga jelma ibas Pulo Perca enda. Amin empak apa pe ia lawes, ibabana nge cap surat kerajan, CAP SI SIWAH, PISO BALA BARI, piso kerajan si bereken kakana ndubé. Rusur nenna inganna, langnga ia jumpa bagi ukurna tengteng; si kitik kitiksa, si mbelin mbelinsa. Émakana seh ia i BANGKO, redagang ia i BANGKO. Enggo cukup sinuwan-sinuwanna : “kugapa kita énda raja?” nina ginemgemna si lima kalak. “Metunggung me kuta, diberu sopé lit”. Tuhu até RAJA. Maka nisiapna perahuna, makana relayar ia ku MAKKAH. Maka jumpa ia diberu, maka itebusina diberu sisipulusa (sisepulusada). Maka nibabana ku BANGKO, maka igenepkennna ternogal sada si lima kalak. Tading bana enem.

 

Lit dua tahun i BANGKO, tubuh anakna ternongal sada anakna, anakna pelin-pelin dilaki. Maka lit telu tahun, nungkun ginemgemna ku RAJA BANGKO : “RAJA! Adi la kam pagi i jénda, nterem anakndu, apai RAJA kami?” Tuhu até RAJA ; iban jelma rutang-rutang nandéna itebusina ; RAJA ndubé nandéna. Si enem é lahang. Maka i siapna me perahuna, relayar RAJA BANGKO ku taneh RAJA KUALA AYER BATU.

 

Lit setahun ia i BANGKO, nungkun rayatna : “RAJA, nde lawes kam pagi, apai RAJA kami ?” É maka i pepulung RAJA me singerana, pepulungna amakna kerina. É maka i turiken BAPANA (raja-red) me katana : ém kéna enem si mbelinna” nina BAPANA, “ndé raja, raja nge kéna kerina. Tapi cap kerajan CAP SI SIWAH, ras PISO BALA BARI kerajan inganna bas si kitik(singuda-red ) énda, ban ia beberé raja. “Ula ko pagi erlawan” nina BAPANA petangarkenna ku si NGERANA. “Ndé bagé nindu bapa, isé si ngelawan katandu?

 

Seh tahunna sada, mate BAPANA. Makana niaturken beras, kerbo, sitadingken BAPANA ndubé. Makana ni tangkuhken singerana(setara penasehat kerajaan-red) si tangkuhken BAPANA ndubé, ban bana cap kerajan, ban anakna si beberé RAJA KUALA AYER BATU. Ngelawan si enem.

 

Reh tahunna sada tangkuhkenna ka. Ngelawan si enem. Dem empat kali itangkuhken beberé raja. Rusur ngelawan anak si enem.

 

É maka piah reh KERAMAT-KERAMAT KERANGEN nari, nggedang mbelin, maba tungkatna, pajekkena kesayan(kesain-red), lawes ia ku rumah, sungkunina RAJA. La lit sungkunina turi-turinna. Patut nge si beberé raja-raja. Ngelawan anak si enem. “Lengleng doni” nina KERAMAT. “Lengleng, lengleng,” nina si enem. Lawes KERAMAT, cabutna tungkatna. Lawes ia, luwar(ndarat-red) layo(lau-red) sarah lubang tungkatna, lengleng me tuhu.

 

Siapna me perahu si beberé raja, babana ku rumah, tamana erta-ertana jé ras cap kerajan, CAP SIWAH, cap PISO BALA BARI kerajan. Layarkenna perahuna ni ALAS, tangkuh ni ALAS. É maka ibanna jumana, jadi kuta tergelar Kétangkuhen, ia lebé ku lau ALAS manusia. É maka ia empo. Tubuh anakna dua. É maka piah mbelin anakna. Mate BAPANA. BAPANA RAJA BANGKO, beberé RAJA KUALA AYER BATU.

 

(II)

Perlajangen

É maka lawes singuda, babana cap surat kerajan, CAP SIWAH. Tadingkenna PISO BALA BARI kerajan man si ntua. Lawes si nguda, ibabana ginemgemna ku LAU PETANI, ban ia lebé mantek kuta ngalur-ngalur LAU PETANI MABAR, anak si nguda.

 

Anak si ntua tading ni ALAS, RAJA KETANGKUHEN. É maka reh jelma sada kabangken Layang-Layang, ndabuh ni ALAS. Jumpa Raja KETANGKUHEN. Tubuh anakna, dua dilaki. Peganci-ganci RAJA. Maka piso kerajan ras si kabangken Layang-layang. Siding man si kabangken Layang-layang piso kerajan.

 

Mate bapana. Pindo anak raja piso bapana. La ia nggit si Kabangken Layang-layang merékenca. Jadi-jadi me pengulu si kabangken Layang-layang, ban piso RAJA BANGKO nge. Mesui até anak RAJA. “Jenda kam” nina si ntua, “pindo pisonta man pengulu, lawes aku ku Teba, ndahi seninanta si enem” nina empak agina.

 

Nggo lawes ia ku Teba ndahi seninana si enem. Dapetina nggo jadi RAJA TEBA SELAKI. Maka tergelar TEBA SELAKI : uis Teba mahansa ia la mate. Lit anakna, banna kutana PAROPO. Mbelin anakna lawes ia ku PAKPAK ndahi senina si enem. Dapetina nggo jadi RAJA PAKPAK. Maka tergelar PAKPAK EMPAK EMPAK ndube celampongna. Kutana MARTOGAN. Empo anakna si enem, banna kutana MARTOGAN. Empat naring kenca nggeluh, anak si enem ndube. Empatna jumpasa. Emaka ia empo ka. Dua kali ia nggo empo, la lit anakna dilaki.

 

Anak RAJA KETANGKUHEN nari empat, si ntua naring,  sada si nguda. E maka mate bapana. Mbelin anakna, anak si nguda la tergeluhisa bana. E maka lawes ia ku JAHE-JAHE.

 

Seh ia JAHE-JAHE banna kutana tepi-tepi LAU BIANG, kawes kahe-kahe, retapinken LAU MBELIN. Pajekna bere-berena pengulu balang, AJI MANERING, sembahenta. Maka tergelar kutana ngesahkenca RAJA PERTIBI. Ia lebe-lebe bengket ngalur-ngalur LAU BIANG. E maka i empoina beru GINTING, reh tahunna dua, maka niempoina beru JAMBUR BERINGIN, anak RAJA KUTA BULUH.

 

(III)

Perang Pemena

Reh tahunna sada, reh musuh picet. Maka ni legina seninana si empat ku MARTOGAN. “O kaka”, nina empak kakana, “di la kin mela surung me tading PERTIBI, ban musuh” nina ku kakana. “Di bage nindu, lawes kita” nina kakana, pengulu MARTOGAN. Ngikut telu kalak kakana si empat. Seh ia RAJA PERTIBI kuta agina: “O kaka, kai aturen?” “Bujang-bujang si pitu. Suruh nurih bengkuang, pepulung durina”. “Nggo pulung durina”. “Tanggerken belanga kawah, tama ipuh si bolar, ulasi duri bengkuang”. Tama PERUMANG pengelimunen. Cir-cir PERMINAK SAGI duri bengkuang kelewet musuh.

 

Terang wari, bukaken musuh. E maka luar musuh. Asa pa luar, ase kena; asa pa kena, ase mate. Talu musuh. Dung lengnga musuh. Nde je denga pengulu MARTOGAN, la pang musuh merangsa PERTIBI. Mbiar ia ban sada PERUMANG, sada PERMINAK SAGI, sada PENGELTEP PENGULU MARTOGAN. Pengulu PERTIBI la pang itadingken kakana pengulu MARTOGAN. Reh tahunna dua lengnga kang dung musuh. Darami pengulu PERTIBI diberu empon pengulu MARTOGAN, penagangina. Sungkunina si ntua, ia la pet diberu manusia ban ia PERUMANG. E maka i sungkunina PERMINAK SAGI. Mberat-mberat katana. Ni pe empo pengulu PERTIBI, ban mbiar tadingken kakana.

 

Ban PERMINAK SAGI, lawes ia ku juma, ban page mbages, mcigeregasgas uwili. Man si karabenna: “lawes aku ku juma muro uwili. Sibar ciger pagi aku ku rumah”, nina empak tukurmasna(ndeharana-red.). Lawes ia ku juma salih jadi HARIMO. Seh lingge ku juma tukurmasna, embahken nakan. Seh ia i juma, nenna sapo, la ia sapo. Ikutkenna ku duru juma, jumpa ia HARIMO, pan HARIMO, besur man. Lawes ia ku rumah enggo jadi jelma. Ni nenna tukurmasna, “enggo ku juma” nina kalak. Ikutkenna ku juma, ikutkenna ku duru, enggo mate. Lawes ia ku rumah;”O agi, nggo pengindo sirang sembuyak. Maka bage ningku: enggo kakandu mate kubunuh. La gunana aku megasgas ku manusia. Nde tumbuk pagi gatipna, adi pagi gelarna HARIMO KEMBAREN, pantangkenndu agi!”.

 

(IV)

Beru JAMBUR BERINGIN

Beru JAMBUR BERINGIN la erpemupus, tukurmas pengulu PERTIBI, rusur nggerge. Si JAGAT pe aru denga ate pengulu PERTIBI lawes. “Enggo labo bage kaka! Kam naring mere nakan sira agindu si beru JAMBUR BERINGIN. Lanai aku ngasup meresa. Nde ni ulihken ceda, nde kam mbere nakan sira. “E di enggo kita sembuyak” nina pengulu PERTIBI pak SI JAGAT.

 

E maka lit kerajan pengulu PERTIBI ngalokenca, ban ia lebe mantek PERTIBI. Emaka mentas kerbo ALAS nari pengulu PERTIBI ngaloken cuke taneh, sebab ia anak sintua. “Maka ola rubat sarah pudi ateku”, nina pengulu PERTIBI. E maka “entah enterem pagi kuta maka ola rubat arah pudi karina”, nina pengulu PERTIBI. Sabab enggo man SI JAGAT BERU JAMBUR BERINGIN, tukur mas pengulu PERTIBI. Sabab mbelang musuh maka man SI JAGAT, maka ula lawes ate pengulu PERTIBI. E maka enggo kita sembuyak PERTIBI”.

 

(V)

Perang Peduaken

Reh tahunna empat sikel talu KUTA BULUH perang musuh. Maka reh musuh, sabab enggo erdemu ras PERTIBI. Sikel talu kesayan KUTA BULUH. E maka: “je jangku enda la gunana”, mela ate pengulu KUTA BULUH. E maka dahina silihna si JAGAT ku PERTIBi. Jumpa ia ras silihna. “O silih”, nina pengulu KUTA BULUH pak silihna si JAGAT. “Nde, la atendu mekuah, surung me tombang KUTA BULUH”. “Nde bage nindu silih, lawes kita”, nina silihna Si JAGAT. E maka lawes silihna si JAGAT ras tukurmasna BERU JAMBUR BERINGIN ku KUTA BULUH. Enggo she KUTA BULUH:”Kai aturen silih”, nina silihna pengulu KUTA BULUH. “Aturen bujang-bujang si pitu. Suruh nurih bengkuang, pepulung durina, nitanggerken belanga kawah, tama ipuh si bolar, ulasi duri bengkuang. Maka nicircirken kelewet kuta, maka nibukaken me musuh. Hasapa luar musuh, ase kena: asa pa kena, ase mate. Maka talu me musuh dung lengnga kang. E maka tahunna dua, ibahan silihna Si JAGAT kutana NGGALAM.

 

Maka tubuh anak dilaki. Maka nitenahken silihna raja KUTA BULUH. Emaka reh silihna ku NGGALAM. Lit ia dua berngi ni NGGALAM. “Sibalenglah taneh enda, maka ola pagi rubat anak arah pudi”, nina silihna pengulu KUTA BULUH nandangi silihna Si JAGAT. “Bage kin nindu, bage”, nina silihna Si JAGAT, erkata nandangi silihna raja KUTA BULUH, keturunen SUKA TENDEL nari. E maka, “reh kam pagi” nina raja KUTA BULUH. E maka reh silihna Si JAGAT, ngadi ia ersembah iban e di bere-berenna.

 

E maka dapeti RAJA KUTA BULUH, e maka “rebaleng-baleng kita” nina RAJA KUTA BULUH nandangi Si JAGAT. Emaka tuduhken silihna Si JAGAT baling alu eltep, dapetkenca ingan ersembah: dapetkenca NGGALAM, terus ku LAU MBURIDI, ikut kahe-kahe, she ku LAU BIANG, ikut kahe-kahe, DAMAK ujungna, “tanehku” nina silihna Si JAGAT nandangi silihna RAJA KUTA BULUH. Maka nikawatkenna kawes kahe-kahe terus ku LAWET(lawit,laut-red.) terus ku TANGKUHEN. E maka i cibalkenna eltepna. E makana  ni tuduhken silihna KUTA BULUH si arah tuduhken silihna ndai kang, tuduhken ku LAU BIANG ikutkenna kahe-kahe, terus ku lawet, arah kemuhun kahe-kahe. “tanehku, sibarapi terdungkuh sora bedilku enda silih”, nina RAJA KUTA BULUH nandangi Si JAGAT. E maka tulkasna bedilna ndarat. E maka mulih RAJA KUTA BULUH ku kutana. Mulih Si JAGAT ku NGGALAM.

 

(VI)

BULANG KERAJAN

Reh bulanna sada, e maka retenah Si JAGAT ku KUTA BULUH: “gular buburendu”, nina silihna si JAGAT mpak pengulu KUTA BULUH. Maka ni gular mama pengulu KUTA BULUH nu gular buburena Si BULANG KERAJAN. “Maka Si BULANG KERAJAN pe ningku, iban RAJA kam BANGKO, keturunen RAJA PAGARUYUNG nari, iban RAJA kam Ni ALAS, ban RAJA kam ni MABAR, RAJA kam ni TUMBA, RAJA kam Ni PAKPAK, RAJA kam Ni PERTIBI, terus ku lawet RAJA kam. KUTA BULUH enda: “ E maka Si JAGAT tuhu BAPA SI BULANG KERAJAN.

 

 

(VII)

PENGALON CUKE

“E de bage belangna kurajanku, pintur kualoken cuke KUALA, nde kuiyani “KUALA PINTUR”, nina raja KUTA BULUH. “Ndarat danci, diyani Si JAGAT “PINTUR”, nina RAJA KUTA BULUH. “Nde ndarat kai kin man alonken?” “Kuda, kerbo, sangkan muntas sarah taneh enda, de adi kurajat gularna” nina pengulu KUTA BULUH. E maka inganna ngalokenca PERTIBI ban e di taneh si ntua. Asa pa kuda, kerbo, sangkan mentas, ialoken bapa BULANG KERAJAN.

 

(VII)

SINURSUR RAJA

Maka tubuh anakna enem. Sada ku SUNGKUN BERITA. Sada ku LAU MBENTAR. Sada ku SAMPERAYA. Telu lawes ku JUNG DELENG. Sada ku BATU MAMAK. Sada ku KURUAS, maka ku tampe-tampe LAU NTEBAH. Ibahanna jumana pajekkena sapona, tarumna padang. Jadi-jadi me kuta, maka tergelar SAPO PADANG. Lit sada sundut tubuh me anakna telu dilaki SI NGUDA ku kuta KELANGE, si ntengah ku kuta CIH. Si ntua tading i SAPO PADANG. Lit sada sundut, dua sundut, tubuh anakna enem, sada ku DELENG SILUNGKUTEN. Sada ku TULODEH. Sada ku BATU KATAK. Telu tading i SAPO PADANG, sada anak si ntua, sada anak si ntengah, sada anak si nguda. Anak si ntua sada dilaki. Anak si nguda dua dilaki. Mate anak si ntua, lalit nadingken anak dilaki, mate si ntua tading si nguda. Iyankenna tukurmas kakana si lanadingken anak dilaki. Ipupusna anak dilaki sada. Emaka iyankenna tukurmas kakana, sada ka anakna, anak dilaki, bas tukurmasna si ndube sada.

 

Disadur seperlunya dari :

J.H. NEUMANN dalam buku KARO DARI ZAMAN KE ZAMAN karangan BRAHMA PUTRO-1979.

 

Dan di edit sesuai kebutuhan redaksi 

 

Berikut adalah perkampungan MERGA KEMBAREN :

 

KETANGKUHEN-ALAS-sekarang berada di Provinsi ACEH.

LAU PETANI-sekarang berada di Kabupaten DELI SERDANG

LAU MABAR (MABAR)-sekarang berada di Kabupaten DELI SERDANG

PAROPO-sekarang berada di Kabupaten DAIRI (pinggiran DANAU TOBA)

MARTOGAN-sekarang berada di Kabupaten PAKPAK BHARAT.

PERTIBI-sekarang berada di perbastasan Kabupaten KARO dan LANGKAT.

NGGALAM-sekarang berada di Kabupaten KARO

TUMBA-sekarang berada di Kabupaten DAIRI (pinggiran DANAU TOBA)

LAU MBENTAR-sekarang berada di Kabupaten KARO.

SAMPERAYA-sekarang berada di Kabupaten KARO.

KUTA PENGKIH-sekarang berada di Kabupaten KARO.

JUNG DELENG-sekarang berada di Kabupaten KARO

BATU MAMAK-sekarang berada di Kabupaten KARO.

KURUAS-sekarang berada di Kabupaten KARO.

LAU NTEBAH-SAPO PADANG-Kabupaten KARO.

BAH OROK (BAHOROK) sekarang berada di Kabupaten LANGKAT.

KELANGE-DELI SERDANG?

KUTA CIH-DELI SERDANG?

DELENG SILUNGKUTEN-?

TELODEH-?

BATU KATAK-?

 

Semua ini adalah perkampungan tua merga KEMBAREN, sedangkan perkampungan yang muda/baru adalah :

 

Liang Melas

Gunung Meriah(KARO)

Gunung Meriah(perbatasan DELI SERDANG dan SIMALUNGUN) di desa-desa sekitarnya merga Kembaren umumnya menjadi Kalimbubu Kuta.

Sembahe(DELI SERDANG)

Bingkawan(DELI SERDANG)

Kuala(LANGKAT)

Daerah sekitar DELI HULU

Daerah sekitar LANGKAT HULU

Daerah sekitar perbatasan DELI SERDANG-SIMALUNGUN

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.