Header Ads

Indomie Suriah: Kebangkitan dan Jejak Global Merek Indonesia

Beberapa pedagang besar dan pengusaha industri di Suriah mengkritik perusahaan Indomie karena mendapatkan pendanaan puluhan juta dolar setiap tahun melalui platform pendanaan impor, meskipun tidak mematuhi harga resmi yang disepakati pemerintah, begitu berita 2022.

Para pedagang tersebut menunjukkan bahwa keuntungan Indomie di Suriah mengalir ke perusahaan asing, dan mempertanyakan alasan produk itu mendapatkan rekomendasi dari Komite Ekonomi, sementara banyak pengusaha lokal masih menunggu giliran.

Menteri Perdagangan Dalam Negeri dan Perlindungan Konsumen rezim Suriah, Amr Salem, membela keputusan kementerian dengan mengatakan bahwa pendanaan diberikan untuk menjamin ketersediaan bahan baku, dengan syarat harga satu bungkus tetap 1.200 lira, dan pemilik pabrik tidak melakukan pemerasan.

Namun laporan independen menyebut harga satu bungkus Indomie di pasaran saat ini sudah mencapai 2.000 lira Suriah, menunjukkan adanya ketidakpatuhan terhadap harga resmi.

Pemilik pabrik Indomie di Suriah, Ayman Branjikji, sebelumnya mengumumkan penutupan fasilitasnya setelah 25 tahun beroperasi, karena kesulitan memperoleh bahan baku di tengah sanksi internasional dan keterbatasan pendanaan.

Sekitar dua jam setelah pengumuman itu, Branjikji memastikan pabrik akan kembali beroperasi setelah mendapat jaminan dari kementerian untuk menyingkirkan hambatan produksi.

Pada 8 November 2022, pabrik kembali beroperasi, dan distribusi produk di pasaran dijalankan secara bertahap dengan harga 1.200 lira per bungkus, baik untuk konsumen maupun pedagang.

Kontroversi ini muncul di tengah popularitas global Indomie, yang dikenal sebagai merek mi instan asal Indonesia sejak tahun 1972. Sejak awal, Indomie berkembang menjadi ikon makanan instan internasional dan budaya pop.

Di beberapa negara, desain kemasan Indomie bahkan menginspirasi produk kreatif seperti sepatu Nike Air Jordan edisi khusus dan tas berbentuk bungkus Indomie, menunjukkan pengaruh merek ini melampaui sekadar makanan.

Indomie mulai menembus pasar internasional dengan membuka pabrik di Mesir pada 2009, dan di Turki pada 2014, menargetkan pasar berkembang di Timur Tengah sebagai strategi ekspansi global.

Anthoni Salim, CEO Indofood, perusahaan induk Indomie, pernah menyebut Turki sebagai “jembatan” untuk memasuki pasar Uni Eropa. Strategi ini memanfaatkan basis Muslim terbesar di dunia untuk memasarkan produk halal.

Di Turki, Indomie menjadi salah satu pasar paling sukses Indofood, selain di negara-negara Timur Tengah lainnya, termasuk Arab Saudi dan Suriah. Ekspansi ini memperkuat nama Indomie secara global.

Selain Timur Tengah, Indomie juga mulai hadir di Eropa, meskipun negara-negara Eropa bukan termasuk 19 besar pasar mi instan global. Merek ini menjadi pemimpin pasar di beberapa negara, didukung oleh populasi migran yang terbiasa dengan produk ini.

Indomie memiliki harga yang terjangkau, sehingga menjadi makanan pokok bagi mahasiswa dan komunitas berpendapatan rendah, baik di Indonesia maupun di luar negeri.

Di Afrika, Indomie diperkenalkan melalui kerja sama Indofood dan Tolaram Group. Pertama kali masuk Nigeria pada 1988, dan pabrik pertama berdiri pada 1995. Produk dijual dengan harga 18 sen per bungkus, menjadikannya pilihan utama bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Di Nigeria, Indomie kini memproduksi lebih dari 4,5 miliar bungkus per tahun, menghasilkan pendapatan lebih dari satu miliar dolar, dengan tiga pabrik yang beroperasi di negara tersebut.

Kehadiran Indomie di pasar internasional menunjukkan strategi harga rendah yang efektif untuk penetrasi pasar, sekaligus membangun loyalitas konsumen di berbagai kelas sosial.

Di Suriah, meski menghadapi tantangan logistik dan sanksi, merek global ini tetap mendapat dukungan pemerintah melalui pendanaan impor, meski memicu kritik dari pelaku industri lokal.

Kasus ini menyoroti dilema antara kepentingan ekonomi global dan perlindungan pasar lokal. Sementara Indomie membawa produk populer dan menciptakan lapangan kerja, sebagian pengusaha Suriah menilai prioritas pendanaan seharusnya lebih adil.

Dengan kombinasi popularitas global dan kontroversi lokal, Indomie di Suriah menjadi contoh nyata bagaimana merek internasional dapat mempengaruhi ekonomi domestik, sekaligus menghadirkan perdebatan tentang kebijakan industri dan perdagangan.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.